Rabu, 03 Februari 2010

Pencucian Peralatan Makan

Mencuci peralatan makan itu memang hal yang mudah, bahkan mungkin sangat mudah. Tapi jangan salah, karena kesalahan dalam mencuci peralatan makan dapat berakibat fatal. Bahkan masih banyak kejadian keracunan karena peralatan makan yang tidak higienis.

Lalu, bagaimanakah mencuci peralatan makan dengan benar? Berikut akan sedikit kita kupas tentang pencucian peralatan makan.

Pencucian peralatan makan bertujuan untuk :
  • Menghilangkan kotoran - kotoran kasar
  • Menghilangkan lemak dan minyak
  • Menghilangkan bau (bau ikan, bau amis, dsb)
  • Menghilangkan hama penyakit
Prinsip pencucian peralatan makan diantaranya adalah cepat, tepat, bersih, bebas dari sisa makanan dan debu, bebas dari kuman, serta tersedia sarana dan peralatan pencucian.

Pencucian peralatan makan tidak sekedar hanya disabun dan disiram dengan air bersih dan mengalir, tetapi juga terdapat teknik teknik pencucian yang harus dilakukan. Teknik teknik tersebut di antaranya adalah :
  • Scrapping (pembuangan sisa kotoran). Scrapping adalah proses pemisahan segala jenis kotoran dan sisa-sisa makanan yang terdapat pada peralatan yang akan dicuci. Jangan mencuci peralatan yang masih terdapat sisa makanan karena akan mengotori bak pencuci.
  • Flushing (merendam dengan air). Flushing adalah mengguyur air ke dalam peralatan yang akan dicuci sehingga terndam seluruh permukaan peralatan. Perendaman peralatan ini dapat dilakukan tidak di dalam bak, tetapi hasilnya jadi kurang efektif karena tidak seluruh bagian dapat terendam. Perendaman dengan air panas akan lebih efektif daripada menggunakan air dingin. Minimal perendaman adalah 30 menit sampai 1 jam.
  • Washing (mencuci dengan detergent). Washing adalah mencuci peralatan dengan cara menggosok dan melarutkan sisa makanan dengan zat pencuci / detergent. Bagian peralatan yang perlu dibersihkan lebih cermat adalah bagian peralatan yang terkena makanan (permukaan peralatan) dan bagian peralatan yang kontak dengan tubuh (seperti bibir gelas atau ujung sendok).
  • Rinsing (membilas dengan air yang bersih). Rinsing adalah mencuci peralatan yang digosok dengan detergent sampai bersih dengan air yang bersih. Pembilasan ini sebaiknya dilakukan dengan air bertekanan tinggi dan dalam jumlah yang cukup, sehingga dapat melarutkan sisa kotoran dan sisa detergent.
  • Sanitizing / desinfection (pembebas hama). Sanitizing adalah tindakan sanitasi untuk membebashamakan peralatan setelah proses pencucian. Cara desinfeksi yang umum dilakukan adalah dengan perendaman air panas selama 2 menit, dengan larutan Chlor aktif (50 ppm), dengan udara panas (oven), dengan sinar ultraviolet.
  • Towelling (mengeringkan). Towelling adalah mengusap dengan lap bersih atau mengeringkan dengan menggunakan kain untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang mungkin masih menempel sebagai akibat proses pencucian seperti noda detergent dsb. Towel harus disterilkan.

Karena setiap proses pencucian merupakan tahapan yang penting, maka harus selalu diperhatikan dalam setiap mencuci peralatan makanan. Mengapa hal ini perlu diperhatikan? Karena peralatan makan merupakan peralatan yang sangat penting bagi kita. Apabila peralatan makan yang digunakan tidaklah bersih dan higienis, maka dikawatirkan kotoran pada peralatan makan tersebut akan menempel pada makanan dan terbawa masuh ke dalam mulut kita. Maka hal inilah yang akan membahayakan kondisi kesehatan kita.

So, be clean be healthy...

Senin, 18 Januari 2010

KELAINAN METABOLIK GLUKOSA

A. HIPOGLIKEMIA

Definisi : glukosa plasma < 50mg
Kategori :

1. Hipoglikemia setelah makan (Postprandial hypoglycemia)
Gambaran klinik.
1. Umumnya ada gejala-gejala perangsangan adrenergik, termasuk diaforesis, ansietas, iritabilitas, palpitasi, tremor, dan lapar.
2. Terjadi 2 sampai 4 jam setelah makan.
3. Muncul mendadak dan umumnya mereda dalam 15 sampai 20 menit.
4. Disebabkan stimulasi pelepasan epinefrin.
Etiologi.
Sering idiopatik, namun bisa disebabkan oleh diabetes dini, asupan alkohol, pasca gasterektomi, gagal ginjal, obat-obat seperti salisilat, penyekat beta, pentamidin, penghambat ACE.


2. Hipoglikemia puasa (Fasting hypoglycemia)
Gambaran klinik.
1. Umumnya terdapat gejala-gejala neuroglikopenia seperti sakit kepala, kebuntuan mental, dan letih. Jika hipoglikemia lebih berat, dapat berlanjut ke kebingungan, penglihatan kabur, kehilangan kesadaran dan kejang.
2. Terjadi pada puasa lebih dari 4 jam.
Etiologi.
1. Kelebihan insulin, termasuk insulinoma, insulin yang disuntik sendiri atau obat hipoglikemik oral.
2. Penyalahgunaan alkohol dan penyakit hati (glukoneogenesis berkurang).
3. Insufisiensi hipofisis atau adrenal.

3. Iatrogenik atau Eksogen
Dapat terjadi pada pasien diabetes dengan perubahan dalam dosis obat atau tingkat kegiatan fisik.


Tatalaksana Hipoglikemia :

1. Manajemen akut.

  • Karbohidrat oral jika mungkin.
  • Dekstrosa 50% i.v. 1 ampul atau lebih.
  • Jika vena tidak bisa diakses, glukagon 1 mg IM (dapat menyebabkan nausea, muntah, dan aspirasi).
  • Monitor glukosa darah setiap 15-30 menit.
  • Pasien dengan hipoglikemia yang sekunder terhadap obat oral harus dirawat untuk observasi.

2. Manajemen jangka-panjang.

  • Sesuaikan dosis obat; berikan penyuluhan tentang diabetes jika ada.
  • Susun diit dengan proporsi tinggi dari karbohidrat kompleks.
  • Propantelin 7,5 sampai 15 mg PO 1/2 jam sebelum makan , bisa memperlambat pengosongan lambung pada pasien pasca gastrektomi, sehingga mencegah kenaikan (kadar puncak) cepat dari glukosa serum.


B. DIABETES MELITUS

Definisi : Diabetes mellitus (DM) adalah hiperglikemia yang sekunder terhadap produksi insulin yang berkurang atau bisa juga resistensi jaringan tepi terhadap insulin.

Klasifikasi :
  1. Insulin-dependent DM (IDDM, atau DM tipe I) biasanya dijumpai pada masa anak-anak atau dewasa muda dan mengakibatkan ketoasidosis jika tidak mendapat terapi insulin. Ini bertanggung jawab pada 10% kasus DM.
  2. Non-insulin dependent DM (NIDDM, atau DM tipe II) biasanya terdapat pada orang dengan usia >40 tahun dan 60% dari pasien-pasien ini gemuk. Pasien tidak cenderung ketosis tetapi bisa mengalaminya bila berada dalam stres metabolik.
  3. Gestational onset DM (GODM) adalah diabetes yang mula timbulnya ketika hamil dan sembuh setelah persalinan. Pasien-pasien ini memiliki risiko lebih tinggi untuk mengidap diabetes di kemudian hari.
  4. DM sekunder bisa disebabkan oleh terapi steroid, sindroma Cushing, pankreatektomi, insufisiensi pankreas sekunder terhadap pankreatitis, atau penyakit endokrin.
  5. Komplikasi jangka panjang dari diabetes sekarang dianggap berkaitan dengan tingkat pengendalian diabetes sebagaimana diperlihatkan pada DCCT (the Diabetes Control and Complications Trial). Kesimpulan dari uji klinik ini adalah terapi intensif menunda mula timbul dan memperlambat progresi retinopati, nefropati dan neuropati pada pasien IDDM. Kontrol gula darah yang lebih baik pada DM tipe 2 mengurangi progresi komplikasi mikrovaskular sebesar kira-kira 25%.
Etiologi :
  1. DM Tipe 1(atau insulin-dependent DM, atau IDDM). Ini disebabkan kegagalan sel beta pankreas atau sebab-sebab multifaktor seperti predisposisi genetik, serangan virus atau autoimun terhadap sel beta pulau Langerhan (islet).
  2. DM Tipe II(atau non-insulin dependent DM, atau NIDDM). Ini terjadi dengan fungsi sel beta yang utuh tetapi jaringan tepi resisten terhadap insulin. Produksi insulin mungkin berkurang atau sebaliknya hiperinsulin.
Tata Laksana :
  1. Tujuan terapi. Menghilangkan gejala-gejala dan mencegah komplikasi diabetes. Setelah diagnosis DM ditegakkan, sering terjadi periode “bulan madu” ("honeymoon"). Selama periode ini dibutuhkan sejumlah kecil obat hipoglikemik atau insulin. Seringkali diabetes muncul pertama kali selama stres metabolik (misal infeksi atau kehamilan). Dengan memulihkan kebutuhan metabolik ke tingkat semula, cadangan pankreas mungkin adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa normal atau mendekati normal.
  2. Edukasi pasien. Sangat penting dalam manajemen DM yang baik. Pasien harus memahami rencana diit, teknik pemantauan glukosa di rumah, perawatan kaki yang baik dan mengetahui gejala-gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya.
  3. Terapi diit. Pasien harus mendapat petunjuk dari ahli gizi yang terdaftar.Konsumsi alkohol perlu dibatasi. Diit harus mengandung 60% sampai 65% karbohidrat, 25% sampai 35% lemak, dan 10% sampai 20% protein. DM tipe I . Pola diit yang agak kaku harus diikuti untuk menghindari fluktuasi lebar dalam glukosa plasma. Bisa ada sedikit kelonggaran jika digunakan terapi konvensional yang intensif. Jika makan tertunda, pasien harus menelan 10 gr karbohidrat setiap setengah jam. Kebutuhan kalori bisa ditaksir sebesar 40 kcal/kg/hari untuk orang dewasa dengan aktivitas normal. Olah raga ringan membutuhkan tambahan 10 gr karbohidrat per jam, sedangkan olah raga berat membutuhkan 20 sampai 30 gr/jam. DM Tipe II. Pada pasien gemuk, diabetes biasanya reversibel dengan penurunan berat badan. Jika pasien tidak gemuk, berlaku diit yang ketat seperti DM Tipe I. Jika pasien sedang mendapat obat oral atau terapi insulin, napsu makan mereka boleh dirangsang sehingga berat badan bertambah. Hal ini tidak perlu dengan penggunaan metformin.
  4. Terapi farmakologi. Pasien DM Tipe I harus diberi insulin pada saat diagnosis. Akan tetapi, pasien DM tipe II mungkin baru membutuhkan insulin, hipoglikemik oral, atau metformin jika hiperglikemia tidak bisa dikendalikan dengan diit saja. Kadar hemoglobin A1c bisa membantu memutuskan apakah terapi obat dibutuhkan pada pasien dengan hiperglikemia yang relatif ringan. Pasien DM dengan faktor risiko lainnya untuk penyakit jantung harus mulai diberikan penghambat ACE. Ini telah diperlihatkan menurunkan risiko stroke dan MI.


BACAAN LANJUT

1. Ke Chen, Mark A.Graber. Hematologic, electrolyte and metabolic disorders. University of Iowa Family Practice Handbook,4th edition. Chapter 6
2. Donald W Rucker. Diabetic ketoacidosis. eMedicine Journal, April 14 2001, Volume 2, Number 4
3. Guidelines for the Treatment of Diabetic Hyperglycemia and Ketoacidosis (DKA)Swedish Pediatric Association,
Section for Endocrinology and Diabetes 1996 (Ed. R Hanas, J Gustafsson, T Tuvemo and S Sjöblad)
4. Bailey CJ et al: Metformin, N Engl J Med 334(9):547, 1996.
5. Berkow R et al, editors: The Merck manual of diagnosis and therapy, ed 16, Rahway, NJ, 1999, Merck.
6. Buse JB et al: Troglitazone use in insulin-treated type 2 diabetic patients, Diabetes Care 21(9):1455, 1998.
7. Chan NN et al: Non-steroidal anti-inflammatory drugs and metformin: a cause for concern? Lancet 352:201, 1998.
8. Clinical association recommendations, American Diabetes Association: screening for type 2 diabetes, Diabetes Care 21(suppl):s11, 1998.
9. Coniff RF et al: Reduction of glycosylated hemoglobin and postprandial hyperglycemia by acarbose in patients with NIDDM: a placebo-controlled dose-comparison study, Diabetes Care 18(6):817, 1995.
10. Davey P et al: Clinical outcomes with insulin lispro compared with human regular insulin: a meta-analysis, Clin Ther 19(4):656, 1997.
11. Davidson MB et al: Relationship between fasting plasma glucose and glycosylated hemoglobin: potential for false-positive diagnoses of type 2 diabetes using new diagnostic criteria, JAMA 281(13):1203, 1999.
12. Diabetes Control and Complications Trial Research Group: The effect of intensive treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications of diabetes mellitus, N Engl J Med 329(14):977, 1993.
13. Holleman F et al: Reduced frequency of severe hypoglycemia and coma in well-controlled IDDM patients treated with insulin lispro, Diabetes Care 1997 20:1827, 1997.
14. Kitabchi AE et al: Management of diabetic ketoacidosis, Am Fam Physician 60:455, 1999.
15. Lam KSL et al: Acarbose in NIDDM patients with poor control on conventional oral agents, Diabetes Care 21(7):1154, 1998.
16. McCartney MM et al: Metformin and contrast media: a dangerous combination? Clin Radiol 54:29, 1999.
17. Moses R et al: Additional treatment with repaglinide provides significant improvement in glycemic control in NIDDM patient poorly controlled on metformin, Diabetes 46(suppl):93A, 1997 (abstract).
18. Rutledge KS et al: Effectiveness of postprandial Humalog in toddlers with diabetes, Pediatrics 100:968, 1997.
19. Salreil AR: Thiazolidinediones in the treatment of insulin resistance and type II diabetes, Diabetes 45(12):1661, 1996.
20. United Kingdom prospective diabetes study group: UKPDS 28: a randomized trial of efficacy of early addition of metformin in sulfonylurea-treated type 2 diabetes, Diabetes Care 21:87, 1998.
21. Wallach J: Interpretation of diagnostic tests: a synopsis of laboratory medicine, ed 5, Boston, 1992, Little, Brown.
22. Wei M et al: Effects of diabetes and level of glycemia on all-cause and cardiovascular mortality, the San Antonio Heart Study, Diabetes Care 21:1167, 1998.
23. Zoorob RJ et al: Guidelines on the care of diabetes nephropathy, retinopathy and foot disease, Am Fam Physician 56:2023, 1997.
24. Syahbuddin S. Dari “ Evidence-Based Merdicine” ke “Guidelines” dalam Pengelolaan diabetes mellitus. Naskah Lengkap PIB II Penyakit Dalam, FK UNAND 2002.hal 96-114
25. Harris BB, Webster-Bogaert SM. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. In Haynes and Gerstein eds. Evidence Based Diabetes Care. BC Decker Inc,. London, 2001, 48-61

Selasa, 12 Januari 2010

MICROBIOLOGICAL AND NUTRITIONAL QUALITY OF SUPPLEMENTARY FOOD FEEDING AT INTEGRATED HEALTH POST (POSYANDU KEPUHARJO VILAGE) KECAMATAN KARANGPLOSO KABU

Background : The best think would be for the baby gives mother’s milk, because it is the main food for baby and contains the most of nutrition which needed for baby. Mother’s milk not enough for baby in more than 6 months years old, so they are need food feeding to avoid malnutrition in baby. In the meantime, the problem of food safety is a complex problem. Food with bad microbiological quality can caused poisoned like diarrhea. The supplementary food feeding at integrated health post (Posyandu Kepuharjo village) have the high risk in damage.
Objective : The purpose of the study was to describe the microbiological and nutritional quality of food feeding at integrated health post (Posyandu Kepuharjo village) Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang.
Methodology : This study used a observational cross sectional study, over a period in a month. Detailed observational data of microbiological and nutritional quality were collected, and were assessed in Food Laboratory of Brawijaya University Malang.
Results : Result of this study showed that the microbiological quality are not so good, because supplementary food feeding was contained Escherichia coli and Staphylococcus aureus. Beside that, the nutritional quality are not so good too, because the nutritional of supplementary food feeding was less than standard of nutrition.
Conclusion : It is concluded that microbiological and nutritional quality of supplementary food feeding are not so good.
Recommendation : The results suggest that supplementary food feeding must save in the clear place and free by contaminant. Beside that, the supplementary food feeding can be replace with pudding modisco which have higher nutrition (proteins, lipids, and carbohydrates).

Keyword : Microbiological Quality, Nutritional Quality, Supplementary Food Feeding